, ,

Diakui Masyarakat, Diabaikan Negara Kisah Piluh Komoditas Pangan Sangihe

by -177 Views

Kriteria BPS Dipertanyakan, Komoditas Unggulan Sagu Sangihe Terancam ‘Tak Tampak’ dalam Statistik

Tahuna- Sebuah paradoks statistik terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Di satu sisi, daerah ini dikenal sebagai lumbung sagu dan ubi bete (sejenis singkong) terbesar di provinsi tersebut. Di sisi lain, komoditas pangan lokal yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat ini justru tidak diakui dalam kriteria komoditas lokal oleh Badan Pusat Statistik BPS. Kebijakan ini menuai kritik dan pertanyaan tajam dari Bupati Kepulauan Sangihe, Jabes Ezar Gaghana.

Diakui Masyarakat, Diabaikan Negara Kisah Piluh Komoditas Pangan Sangihe
Diakui Masyarakat, Diabaikan Negara Kisah Piluh Komoditas Pangan Sangihe

Baca Juga : Kontingen Karate Kodim Sangihe Sapu Bersih 8 Emas Di Kejuaraan Danrem Open

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Ketidakikutsertaan sagu, bete, dan umbi-umbian lain dalam kalkulasi statistik resmi dinilai memiliki dampak riil yang sangat merugikan: tingginya angka kemiskinan yang tercatat secara nasional tidak lagi mencerminkan kondisi sebenarnya. Bagaimana mungkin suatu daerah dinyatakan miskin, ketika masyarakatnya sebenarnya memiliki ketahanan pangan yang kuat dari hasil buminya sendiri?

Pertanyaan reflektif ini disampaikan Bupati secara tegas dalam acara penanaman jagung, padi, dan tanaman hortikultura di Kampung Balane, Kecamatan Tamako, beberapa waktu lalu. Acara yang seharusnya merayakan kemandirian pangan, justru menyisakan tanda tanya besar tentang pengakuan terhadap potensi lokal.

Sagu di Piring, tapi Hilang dari Data

Diakui Bupati Jabes Ezar Gaghana memaparkan fakta yang terasa janggal. “Sangihe adalah penghasil sagu dan ubi bete terbesar di Sulawesi Utara. Ini adalah identitas dan kekayaan kami,” ujarnya. Namun, kenyataan di lapangan ini berbanding terbalik dengan data di atas kertas.

“Yang membuat kami heran, komoditas andalan ini tidak dihitung dalam indikator BPS sebagai komoditas lokal. Akibatnya, secara statistik, kontribusi ekonomi yang besar dari sagu dan bete menjadi ‘invisible’, tidak terlihat. Hal inilah yang sangat berdampak pada tingginya angka kemiskinan kita,” imbuh Bupati, menekankan betapa kebijakan ini berpotensi memutarbalikkan fakta.

Faktanya, bagi mayoritas warga Sangihe, sagu dan ubi bete bukan sekadar tanaman biasa. Mereka adalah pangan pokok sehari-hari yang telah dikonsumsi secara turun-temurun. Dari sagu diolah menjadi papeda, sinole, dan berbagai makanan tradisional lain yang mengisi perut dan menjadi sumber karbohidrat utama. Dengan kata lain, yang tidak dihitung BPS bukan hanya sekadar tanaman, tetapi fondasi dari ketahanan pangan dan budaya masyarakat.

Langkah Konkret: Meninjau Ulang Metode Perhitungan

Menyikapi ketimpangan ini, Bupati tidak tinggal diam. Ia telah memerintahkan jajaran dinas terkait untuk segera mengambil langkah diplomatis namun tegas. Instruksinya jelas: melakukan komunikasi intensif dengan pihak BPS agar metode perhitungan yang berlaku nasional itu dapat ditinjau ulang.

Tujuannya mulia dan sederhana: agar statistik yang dihasilkan mampu menjadi cermin yang jernih, mampu menangkap kondisi riil dan kekhasan setiap daerah, termasuk Kepulauan Sangihe. Sebuah sistem yang adil harusnya mampu mengakui bahwa ketahanan pangan tidak selalu identik dengan beras, tetapi juga pada pangan lokal yang telah teruji menopang kehidupan selama generasi.

Perjuangan Sangihe ini lebih dari sekadar urusan angka; ini adalah upaya untuk mendapatkan pengakuan atas kedaulatan pangan lokalnya. Jika berhasil, ini bukan hanya akan mengoreksi data kemiskinan, tetapi juga menjadi pengakuan resmi bahwa sagu dan bete adalah emas hijau yang menopang perekonomian dan budaya masyarakat di ujung utara Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.