Membangun Negeri di Ujung Nusantara: Kisah Perjuangan Sangihe dengan Rupiah yang Tertatih-tatih
Tahuna- Di bibir pantai Tahuna, terik matahari seakan tak menyisakan ruang untuk teduh. Jefri, seorang pria paruh baya dengan tubuh yang kekar terbentuk oleh kerja keras, tengah sibuk mengisi karung-karung pasir hingga penuh. Butiran pasir itu bukan untuknya, dan pulau tempatnya berdiri ini pun bukan asal muasal material tersebut. “Pasir ini bukan milik kami, Pak. Kami hanya buruh yang mengisi pasir ke dalam karung. Nanti, mereka yang akan memuat dan membawanya ke Pulau Para menggunakan kapal. Ini untuk membangun fasilitas pemerintah,” tuturnya, suaranya parau dibalik gemuruh ombak, sementara keringat tak henti membasahi tubuhnya.

Baca Juga : Cek Kesehatan Gratis Prabowo Hadir Di Sekolah, Jamin Kesehatan Anak Bangsa
Potret perjuangan Jefri dan rekan-rekannya di sekitar Jembatan Tona, Tahuna, adalah sebuah metafora yang sempurna untuk menggambarkan tantangan berat pembangunan di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sebagai garda terdepan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina, Sangihe bukannya tanpa mimpi untuk maju. Namun, langkahnya kerap tertatih oleh realitas geografis dan anggaran yang terbatas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, hamparan negeri bahari ini hanya seluas 736,98 km², terpencar menjadi mozaik 108 pulau. Di atas hamparan pulau-pulau kecil inilah, sekitar 143.650 jiwa penduduk berusaha membangun kehidupan. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan di tahun 2025, Pemerintah Daerah mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp 903,67 miliar. Angka yang terkesan fantastis di atas kertas, namun nyatanya harus berhadapan dengan biaya operasional yang tidak biasa.
Sebagian besar dari nilai rupiah dalam APBD itu tersedot untuk belanja pegawai, sebuah keniscayaan dalam menjalankan roda birokrasi. Namun, hal ini tidak lantas membuat semangat Pemerintah Daerah patah arang. Dengan sisa anggaran yang ada, mereka berkomitmen kuat untuk terus membangun fasilitas publik—sebuah hak dasar yang tak boleh terabaikan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan dan perbatasan.
Laut adalah Jalan Raya, Kapal adalah Truk Pengangkutnya
Membangun di Sangihe bukan sekadar menyusun batu bata dan mencor beton. Setiap proyek, entah itu puskesmas yang mendesak atau sekolah untuk masa depan anak-anak, dimulai dengan sebuah perjalanan panjang. Material bangunan seperti pasir, kerikil, batu, semen, hingga besi harus diseberangkan terlebih dahulu dari kota Tahuna, ibukota kabupaten, menggunakan kapal. Laut yang membelah pulau-pulau bukanlah pemandangan indah semata, melainkan “jalan raya” sekaligus penghalang yang mahal.
“Semua bahan diangkut dengan kapal, biayanya tidak sedikit,” keluh Jefri dengan nada prihatin yang dalam. Keterpencilan lokasi membuat harga material membengkak berkali-kali lipat. Ongkos logistik yang tinggi ini menjadi beban ganda: bagi pemerintah dalam membangun fasilitas publik, dan bagi warga seperti Jefri yang ingin sekadar memperbaiki atau membangun rumah.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Kebutuhan pokok sehari-hari, dari beras, minyak goreng, hingga gula, juga harus didatangkan dari Tahuna. Mereka hidup dalam ketergantungan penuh terhadap kapal-kapal yang melintas. Ketika musim barat tiba, gelombang laut seringkali mengamuk, membuat pelayaran terhenti. Stok barang bisa menipis, dan harga di pulau-pulau terpencil pun melambung tinggi.
Gemuruh Ombak Kondisi alam laut yang sering tidak bersahabat ini seakan telah menjadi warna kehidupan yang harus mereka terima dan syukuri. “Kami sudah biasa. Kadang laut marah, kapal tidak bisa berlayar, ya kami tunggu. Itulah takdir kami sebagai orang kepulauan,” ucap Jefri, mencoba menerima keadaan dengan lapang dada, meski di matanya masih terselip harapan akan pemerataan pembangunan.
Di balik segala keterbatasan, semangat untuk membangun Sangihe tetap berkobar. Setiap puskesmas yang berdiri, setiap sekolah yang terselesaikan, adalah sebuah kemenangan kecil. Ia adalah bukti nyata bahwa meski dana terbatas dan alam kerap tak bersahabat, hak warga perbatasan untuk mendapatkan pelayanan dasar tidak boleh tenggelam. Perjuangan Sangihe adalah pengingat bagi kita semua, bahwa membangun Indonesia yang sesungguhnya adalah dengan memastikan tidak ada satu pun anak negeri yang tertinggal, meski mereka tinggal di pulau paling terpencil sekalipun.







