Tari Empat Wayer: Kisah Cinta, Perlawanan, dan Akulturasi di Baling-Baling Pesawat Perang
News Tahuna- Di tengah gegap gempita Perang Dunia II, ketika suasana pendudukan Jepang di Indonesia memupus banyak kegembiraan, sebuah tarian yang unik dan penuh makna lahir dari kepulauan nan indah, Sangihe. Inilah Tari Empat Wayer, sebuah mahakarya yang tercipta bukan dari masa damai, melainkan dari jiwa manusia yang rindu akan kebebasan dan ekspresi.

Baca Juga : Tendris Bulahari Kukuhkan Lima Pejabat Baru Dalam Pemerintahan Sangihe
Lahir dari Reruntuhan Larangan
Pada tahun 1944-1945, tepatnya di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sangihe, pemerintah pendudukan Jepang melarang segala bentuk kesenian yang dianggap berbau Barat, termasuk tari dansa. Larangan ini memukul para musisi dan pecinta seni. Namun, dari keterbatasan justru muncul kreativitas. Kelompok musik orkes setempat, yang tak ingin suara musik mereka padam, berusaha menciptakan sebuah tarian pengganti. Mereka merangkul kesenian Eropa yang mereka kenal dan memadukannya dengan jiwa serta gerak tradisi Sangihe, sehingga lahirlah sebuah bentuk kesenian hibrida yang sama sekali baru.
Makna di Balik Nama “Empat Wayer”
Nama tarian ini sendiri menyimpan cerita sejarah yang hidup. “Empat Wayer” diambil dari kata “Four Wire,” yang merujuk pada pesawat tempur Perang Dunia II yang memiliki empat baling-baling (four propellers). Pada masa itu, kemunculan pesawat-pesawat canggih ini di langit Sangihe menjadi pemandangan yang sangat mencolok dan menjadi simbol kekuatan serta situasi peperangan yang mendominasi kehidupan. Dengan menjadikannya nama tarian, masyarakat Sangihe seolah-olah mengabadikan momen bersejarah itu dalam gerak dan irama.
Simfoni Cinta dan Kebersamaan
Tari Empat Wayer pada hakikatnya adalah tarian pergaulan yang menggambarkan keharmonisan dan keintiman. Tarian ini biasanya dibawakan oleh sepasang kekasih atau suami-istri, di mana gerakan mereka elegan, penuh penghormatan, dan mencerminkan dinamika sebuah hubungan. Gerakannya yang berpadu secara harmonis melambangkan keselarasan dalam kehidupan sosial dan rumah tangga masyarakat Sangihe.
Iringan musiknya adalah perpaduan yang unik. Alat musik Eropa seperti gitar berdenting bersama dengan alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan instrumen lokal lainnya, menciptakan simfoni akulturasi yang merdu. Menariknya, selain lagu-lagu daerah, beberapa sumber menyebutkan bahwa lagu mars yang bersemangat juga sering digunakan, semakin mengukuhkan nuansa perpaduan budaya dan semangat juang yang melatarbelakangi kelahirannya.
Keabadian dalam Upacara dan Festival
Sebagai warisan budaya yang berharga, Tari Empat Wayer tidak hanya menjadi kenangan. Tarian ini tetap hidup dan menjadi pusat perhatian dalam berbagai acara penting, seperti:
-
Upacara Adat Tulude: Sebuah upacara syukuran yang penuh makna, kehadiran Tari Empat Wayer menambah khidmat dan kegembiraan dalam rasa syukur masyarakat.
-
Festival Seke Maneke: Sebagai festival budaya, tarian ini adalah salah satu pertunjukan utama yang ditunggu-tunggu, menunjukkan identitas dan kekayaan seni Sangihe.
-
Berbagai Perayaan Besar: Mulai dari pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, hingga perayaan hari besar nasional, Tari Empat Wayer hadir sebagai penanda sukacita dan pemersatu masyarakat.
Penutup: Lebih dari Sekadar Tarian
Tari Empat Wayer bukan hanya sekadar gerak dan musik. Ia adalah bukti nyata ketangguhan budaya, di mana seni mampu tumbuh subur bahkan di tengah tekanan. Tarian ini adalah narasi tentang bagaimana masyarakat Sangihe dengan cerdas mengolah pengaruh luar, merajutnya dengan kearifan lokal, dan menciptakan sebuah identitas baru yang unik dan mempesona. Hingga hari ini, setiap helakan kain dan setiap hentakan kaki penari Empat Wayer, adalah sebuah cerita tentang cinta, perlawanan, dan akulturasi yang abadi.







